Banyak orang yang saya temui, ingin berpengaruh tapi tidak mampu.
Mungkin juga tidak tau atau takut. Dua-duanya bisa jadi pemicu. Yang jelas dia mau, tapi tidak mau melalui prosesinya. kalau kita buat sebuah percontohan, katakanlah dalam situasi tertentu. Misalkan di sebuah kantor “A” situasinya saat itu, kepala departemen sedang tidak ada, yang ada hanyalah para staf biasa.
Untuk memberikan keputusan taktis, diperlukan perhitungan tertentu. tanggung jawab dan alasan kuat. sebab apapun keputusan yang di ambil akan berdampak pada perusahaan.Oleh karena itu, dibutuhkan seseorang yang berani mengambil resiko.
Salah satu diantaranya, katakan namanya Bejo, berani berinisiatif jika ada hal taktis yang perlu diputuskan dilapangan. Sementara yang lain hanya bisa diam, takut disalahkan atau takut berbuat salah. atau malah tidak mau ambil pusing.Inilah yang ingin saya fokuskan, bahwa banyak yang ingin seperti Bejo dan dilirik oleh bos tapi tidak berani mengambil tindakan. Paling-paling bisik-bisik dibalik meja sesama staf, bahkan kalau keterusan bisa jadi gosip hangat mirip artis.hehehe…
Saya berpandangan, bahwa jika kita berada dalam situasi tertentu seperti kasus Bejo diatas, kita sebagai individu ingin memiliki pengaruh, dilirik, atau di hormati cara bertindak kita di suatu tempat, maka setidaknya kita perlu pahami bahwa pada dasarnya kita memiliki “hak berinisiatif”.
Dari sinilah lahir keberanian berpendapat, bertindak dan menempuh langkah-langkah kreatif dan kongkrit. jika hal seperti itu dipahami dan dibiasakan, maka nantinya, siapapun dia akan memperoleh sebuah kebiasaan memimpin situasi.
Jika kita berani menerobos kedalam suasana seperti itu, suasana fakum yang tak terarah dan berani memposisikan diri sebagai ” lokomotif”. Maka saya yakin siapapun orangnya akan tampil sebagai pribadi yang superior, berani dan mampu memberikan efek positif disekelilingnya.
Tidak terlalu sering, tapi beberapa kali Saya pernah mempraktekkan apa yang dilakukan Bejo di atas. Dan setiap kali saya berupaya menjadi lokomotif, saya sering ditakut-takuti, baik oleh orang-orang disekeliling saya, maupun dari fikiran protektif saya sendiri. Tapi dari situ saya belajar, bahwa menggerakkan sesuatu diperlukan rasa “berani untuk menerima ketidak-cocokan”. Apakah ditentang, atau tindakan yang saya ambil salah. Saya rasakan itu dan saya jadikan tumpukan pondasi mental untuk bertindak.
Positifnya, saya selalu merasa mendapat angin kekuasaan. Saya berhasil menggerakkan dan saya selalu disebut-sebut.. heheheh..
Poinya apa?
Memiliki sikap inisiatif akan sangat membantu seseorang untuk tampil sebagai figur pemimpin. Secara otomatis, jika figur kepemimpinan sudah diraih, maka pengaruh pasti ditangan. Lalu apa untungnya memiliki pengaruh seperti itu? toh saya tidak haus kekuasaan! saya kan bukan aktor politikus yang haus kedudukan.
Untungnya, kita bisa tegas terhadap diri sendiri atas pilihan, alternatif atau apapun itu yang ingin kita pilih. jadi dalam hal ini, konteks kekuasaan bukan menguasai orang lain, tapi lebih menekankan pada penguasaan diri sendiri untuk menggerakkan situasi. sekali lagi dalam konteks kepentingan mentalitas kita sendiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar